Wednesday 17 June 2015

MAKALAH MURJI’AH

BAB II
MURJI’AH

Golongan ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar :  apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman ataukah tidak? Menurut Khawarij oran itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mukmin, melainkan hanya muslim. Hasan Bashri dan sebagian Tabi’in mengatakan bahwa orang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cerminan dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat di jadikan indicator bahwa seseorang telah beriman. Adapun mayoritas umat Islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang Mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan kepada Allah. Jika menghendaki, Ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya, dan jika menghendaki pula, ia dapat saja mengampuni kesalahannya. Di tengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bai orang yang kafir. Dan diantara para pendukun paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan kelompok besar ulama Sunni. Bahkan dalam suatu penelitian diketahui bahwa pendapat golongan ini mewakili pendapat jumhur ulama.
            Penyemaian benih pertama yang kemudia menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yaitu pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjinan tentang keadaan pemerintahan ‘Utsman dan para pejabatnya berkemban sampai ke pelosok-pelosok wilayah Islam. Pergunjingan itu kemdian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya ‘Utsman. Di saat-saat seperti itu sekelompok sahabat memilih bersikap diam dan menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar biasa dikalangan umat Islam. Mereka berpegang pada hadits yang diriwayatkan Abu Bakar, yaitu ketika Nabi Bersabda

Artinya : nanti akan timbul berbagai fitnah, dimana oran yang duduk lebih baik daripadayangberjalan,yangberjalan lebih baik daripadayangberlari jika peristiwa itu tiba, maki orang yang memiliki onta hendaklah memeang untanya; yang memiliki kambing hendaklah memegang kambingnya, dan yang memiliki tanah hendaklah bertahan ditanahnya. Seoran laki-laki bertanya “ Ya Rasulullah, bagaimana oran tidak memiliki unta, kambing, ataupun tanah” Jawab Nabi “ Hendaklah dia mengambil pedangnya dan meletakkannya ke batu, dan hendaklah dia menyelamatkan diri, jika ia mampu untuk itu.”
Ketika akibat-akibat yang timbul dari fitnah  itu berlanjut sampai kemasa pemerintahan ‘Ali, kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menagguhkan hukum  tentang peperangan yang terjadi antara Khalifah ‘Ali dan Mu’awiyah sampai ahri kiamat. Diantara mereka terdapat S’ad ibn Abi Waqqas, Abu Bakrah (perwai hadits), Abdullah ibn ‘Umar dan ‘Imran ibn al-Husain.
Dengan sikap itu mereka tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar diantara dua kelompok yang bertikai. Mereka menyerahkan persoalannya kepada Allah. Mengenai masalah ini Imam Nawawi berkata, “ Persoalan-persoalan yang timbul di antara para sahabat banyak yang sulit dimengerti. Di antara mereka ada kelompok yang merasa bingung untuk menentukan sikap, sehingga mereka menghindarkan diri dari dua kelompok yang bertikai dan tidak mau turut berperang karena tidak yakin mana yang benar.”
Sikap ragu-rau mulai menyelimuti banyak tentara, karena itu, ‘ibn ‘Asakir dalam buku sejarahnya menamai mereka dengan al-syakkak (orang-orang yang ragu) yaitu orang-orang yang ragu tentang mana yang benar dalam pertentanan itu. Ia mengatakan bahwa  al-Syakkak  pada waktu itu sedang berada di medan perang melawan pasukan kafir. Ketika mereka yang merupakan harapan rakyat karena mereka selalu sependapat- tida di Madinah setelah ‘Utsman terbunuh, mereka berkata, “ kami dahulu meninggalkanmu dalam keadaan bersatu, tanpa ada pertentanan, dan sekarang kami mendatangi kamu, tetapi kamu sudah saling bertentangan. Di antara kamu ada yang berkata bahwa ‘Utsman terbunuh dengan cara kejam, padahal ia dan pengikutnya lebih dapat dibenarkan. Mereka semua benar dan kami memiliki buktinya. Kami tidak berlepas diri dari keduanya (‘Utsman dan ‘Ali), kami tidak menangguhkan dan menyerahkan persoalan keduanya kepada Allah. Biarlah Allah yang menghakimi keduanya.”
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak di kalangan umat Islam, dan masalah yna dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukum atas kasus diatas, tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa, muncullah satu kelompok yang menempuh pola sikap menangguhkan persoalan (al-irja’) terhadap pelaku dosa; suatu sikap yang ditempuh sebagai kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Mereka menahan diri dari memperbincangankan pertentangan politik karena dasar pertentangannya adalah hukum kafir yang dijatuhkan golongan khawarij terhadap semua orang yang berbeda pendapat  dengan mereka   . tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata, “ mereka nyatakan dua kalmah syahadat, maka jika demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musrik, tetapi muslim. Kita serahkan persoalan mereka kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan yang akan mengadili mereka.”
Pola sikap “ tidak mengkaji perbedaan pendapat” dan menyerahkan persoalan pembuat dosa besar kepada Allah dihari kiamat merupakan cara terbaik, dan itu tidak diragukan lagi, karena mungkin saja dosa orang itu ada yng diampuni. Dalam perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi muncul penganut paham yang tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, teteapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah pengakuan, pembenaran, keyakinan dan pengetahuan (ma’rifah); perbuatan masiat tidak akan merusakkan hakikat iman. Iman terpisah dari perbuatan. Di anatar kelompok ini malah ada yang bersikap ekstrim denan berangapan bahwa keimanan adalah keyakinan hati. Dengan demikian, jika seseorang menyatakan kekafiran dengan lidahnya menyembah berhala, bergabung dengan oran-orang Yahudi dan Nasrani di wilayah Islam, menyembah salib, menyatakan trinitas di wilayah Islam, lalu mati dalam keadaan seperti itu, ia tetap seorang mukmin yang imannya sempurna di sisi Allah serta termasuk ahli surga.
Di antara mereka malah ada yang berkeyakinan bahwa walaupun seseorang berkata, “ saya tahu bahwa Allah mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini atau yang lain,” ia masih tetap Mu’min. demikian jika ada yang berkata, “ saya tahu bahwa Allah telah mewajibkan mengerjakan haji ke Ka’bah, tetapi aku tidak tahu dimana Ka’bah itu, mungkin saja di India, “ ia masih beriman. Artinya keyakinan-keyakinan seperti itu berada di luar persoalan keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi, orang tersebut sesungguhnya tidak meragukan di mana Ka’bah dan pasti tahu perbedaan antara kambing dan babi.
Dari uraian di atas diketaui bahwa mereka telah melampaui batas dalam melecehkan amal perbuatan, bahkan menjadikan dosa, ditinjau dari hubungannya dengan dasar keimanan dari segi efek yang timbul, yaitu balasan surga bagi yang berbuat baik dan balasan neraka bagi yang berbuat jahat. Mereka juga melecehkan dasar iman dan mengubah hakikatnya, serta menjadikan iman sebatas pengakuan hati saja, walaupun bertentangan denan tindakan. Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa keimanan dan pengakuan belum memasuki hati mereka. Sebaliknya, mereka telah melampauinya dengan mengatakan bahwa pengakuan hati adalah satu-satunya rukun iman. Serta meragukan hakikat keimanan yang dapat diketahui secara  a priori  dengan menolak mengakuinya sebagai unsur-unsur keimanan. Mereka menyiarkan bahwa tidak mengetahui Ka’bah tidak merusak Iman, dan tidak mengetahui babi juga demikian. Yang terakhir ini barangkali bukan saja benar-benar merusak iman, tetapi juga merusak akal.
Di tengah-tengah pendapat dan pandangan yang sesat itu diantara para penganut mazhab Murji’ah ini terhadap orang – orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan mulia lainnya. Mereka yang berbuat kerusakan dan tidak mempedulikan halal dan haram menjadikannya sebagai suatu mazhab, sehina mereka disebut denan  al-mufsidin  (para pencipta kerusakan). Mereka menjadikan paham itu sebagai jalan untuk melakukan dosa, melancarkan niat jahat, dan menuruti hawa nafsu dari kebanyakan orang-orang yang menciptakan malapetaka dan kerusakan.
Di antara riwayat yang menceritakan hal itu adalah yang dikisahkan Abu al –farraj di dalam kitab  al-Aghani  bahwa seorang penganut Syi’ah dan seorang penganut Murji’ah berdebat serta sepakat bahwa yang akan menjadi penengah adalah orang-orang yang pertama mereka jumpai. Mereka lalu bertemu denan seoran penanut paham yang menghalalkan segalanya (al-Ibahiyyin). Keduanya bertanya kepada oran itu,” mana yang terbaik Syi’ah atau Murji’ah?” orang itu menjawab, “ Bagian atas badan saya menganut paham Syi’ah dan bagian bawah saya Murji’ah.”
Dari uraian tentang Murji’ah diatas dapat disimpulakn bahwa Murji’ah merupakan mazhab dari dua golongan. Yang pertama adalah bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas pertentangan yan terjadi diantara para sahabat dan yang terjadi di masia pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni semua dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan maksiat tidak dapat merusak keimanan, sebagaimana perbuatan taat tidak membantu kekafiran. Mengenai kelompok ini Zaid ibn ‘Ali ibn al-Hasan berkata, “ Saya berlepas diri dari golongan Murji’ah yang mengharapkan Allah mengampuni orang-orang fasiq. “ kelompok kedua ini telah membuat mazhab Murji’ah menjadi cacat yang dicela dan dikutuk para ulama dan olongan-golongan lain.
Golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka memeberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,  yanitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudia Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golonan Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah  kepada beberapa imam mazhab dalam bidang fiqh dan hadits. Dengan tolok ukur pandang ini Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya: Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lain mereka menamakan Murji’ah. Mengenai masalah ini Syahrastani berkata, “ Demi usiaku, sungguh Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya telah dinamai dengan  Murji’ah.  Sebabnya barangkali karena Abu Hanifah pernah berkata, “ Iman adalah pembenaran dengan hati. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkuran.” Mereka beranggapan bahwa sang Imam menomorduakan amal. Bagimana mungkin tokoh ini berfatwa untuk meninggalkan amal, padahal ia sangan mementingkan amal perbuatan. Sebab yang lain barangkali karena ia berbeda paham dengan Qadariyyah dan Mu’tazilah yang muncul pada fase awal, sementara Mu’tazilah menamakan sqemua orang yang tidaqk sepaqham dengan merekaq dalam masalah al-adr  dengan Murjiah; demikian pula halnya dengan golongan khawarij.  Jadi, nama itu pasti berasal dari golongan Mu’tazilah dan Khawarij.”
Dengan tolok ukur pandang seperti itu, yan termasuk Murji’ah bukan sekedar Abu Hanifah dan murid-muridnya, melainkan juga sejumlah besar tokoh lainnya, seperti al-Hasan ibn Muhammad ibn’Ali ibn Abi Thalib, Sa’id ibn Jubair, “Am rib Murrah ibn Tsa’r, Muqatil ibn Sulaiman, Himad ibn Abi Sulaiman ( Guru Abu Hanifah) dan Qadid ibn Ja’far. Mereka adalah para imam dalam bidang hadits yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar, tidak pula menyatakan bahwa mereka akan kekal di neraka.
Para ulama membagi penganut Murji’ah ke dalam dua golongan pertama adalah Murji’ah al-sunnah,  yaitu yan berpendapat bahwa pendosa akan disiksa sesuai denan ukuran dosanya, dan tidak kekal dineraka. Bias saja Allah memaafkan dan menaunginya dengan  rahmat-Nya sehinga tidak di siksa sama sekali, dan itu merupakan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya (Allah memiliki karunia yang maha besar). Termasuk dalam kelompok ini kebanyakan ulama fiqh dan hadits. Kelompok kedua adalah Murji’ah al-bi’ah,  yaitu mereka secara khusus memakai nama Murji’ah dikalngan mayoritas umat Islam. Mereka inilah yang berhak menerima ungkapan dan penilaian buruk dari semua pihak.

Penulis berpendapat bahwa sebaiknya pemberian sifat  Murji’ah  dijauhkan dari tokoh ulama sehingga tidak disamakan dengan mereka yang membolehkan segala-galanya itu.   Wa Allah A’lain bi al-shawab.

No comments:

Post a Comment

Karya Ilmiah "CARA MEMBUAT MANISAN DARI BUAH CABAI"

BAB I PENDAHULUAN 1.1.       Latar Belakang Buah cabai banyak ditemukan dipasar dengan harga yang relative murah. Buah cabai merupa...