BAB
II
MURJI’AH
Golongan
ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar : apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman
ataukah tidak? Menurut Khawarij oran itu menjadi kafir, sedangkan menurut
Mu’tazilah orang itu bukan mukmin, melainkan hanya muslim. Hasan Bashri dan
sebagian Tabi’in mengatakan bahwa orang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan
merupakan cerminan dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat di jadikan indicator
bahwa seseorang telah beriman. Adapun mayoritas umat Islam memandang pelaku
dosa besar sebagai orang Mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan
kepada Allah. Jika menghendaki, Ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya, dan
jika menghendaki pula, ia dapat saja mengampuni kesalahannya. Di tengah-tengah
pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa
dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bai
orang yang kafir. Dan diantara para pendukun paham ini ada yang berpendapat
bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat.
Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan kelompok
besar ulama Sunni. Bahkan dalam suatu penelitian diketahui bahwa pendapat
golongan ini mewakili pendapat jumhur ulama.
Penyemaian benih pertama yang
kemudia menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yaitu pada masa
akhir pemerintahan Utsman. Pergunjinan tentang keadaan pemerintahan ‘Utsman dan
para pejabatnya berkemban sampai ke pelosok-pelosok wilayah Islam. Pergunjingan
itu kemdian melahirkan fitnah dan
berakhir dengan terbunuhnya ‘Utsman. Di saat-saat seperti itu sekelompok
sahabat memilih bersikap diam dan menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar
biasa dikalangan umat Islam. Mereka berpegang pada hadits yang diriwayatkan Abu
Bakar, yaitu ketika Nabi Bersabda
Artinya : nanti akan timbul
berbagai fitnah, dimana oran yang duduk lebih baik daripadayangberjalan,yangberjalan
lebih baik daripadayangberlari jika peristiwa itu tiba, maki orang yang
memiliki onta hendaklah memeang untanya; yang memiliki kambing hendaklah
memegang kambingnya, dan yang memiliki tanah hendaklah bertahan ditanahnya.
Seoran laki-laki bertanya “ Ya Rasulullah, bagaimana oran tidak memiliki unta,
kambing, ataupun tanah” Jawab Nabi “ Hendaklah dia mengambil pedangnya dan
meletakkannya ke batu, dan hendaklah dia menyelamatkan diri, jika ia mampu
untuk itu.”
Ketika
akibat-akibat yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai kemasa pemerintahan ‘Ali,
kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menagguhkan hukum tentang peperangan yang terjadi antara Khalifah
‘Ali dan Mu’awiyah sampai ahri kiamat. Diantara mereka terdapat S’ad ibn Abi
Waqqas, Abu Bakrah (perwai hadits), Abdullah ibn ‘Umar dan ‘Imran ibn
al-Husain.
Dengan
sikap itu mereka tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar
diantara dua kelompok yang bertikai. Mereka menyerahkan persoalannya kepada
Allah. Mengenai masalah ini Imam Nawawi berkata, “ Persoalan-persoalan yang
timbul di antara para sahabat banyak yang sulit dimengerti. Di antara mereka
ada kelompok yang merasa bingung untuk menentukan sikap, sehingga mereka
menghindarkan diri dari dua kelompok yang bertikai dan tidak mau turut
berperang karena tidak yakin mana yang benar.”
Sikap
ragu-rau mulai menyelimuti banyak tentara, karena itu, ‘ibn ‘Asakir dalam buku
sejarahnya menamai mereka dengan al-syakkak
(orang-orang yang ragu) yaitu orang-orang yang ragu tentang mana yang benar
dalam pertentanan itu. Ia mengatakan bahwa al-Syakkak pada waktu itu sedang berada di medan perang
melawan pasukan kafir. Ketika mereka yang merupakan harapan rakyat karena
mereka selalu sependapat- tida di Madinah setelah ‘Utsman terbunuh, mereka
berkata, “ kami dahulu meninggalkanmu dalam keadaan bersatu, tanpa ada
pertentanan, dan sekarang kami mendatangi kamu, tetapi kamu sudah saling
bertentangan. Di antara kamu ada yang berkata bahwa ‘Utsman terbunuh dengan
cara kejam, padahal ia dan pengikutnya lebih dapat dibenarkan. Mereka semua
benar dan kami memiliki buktinya. Kami tidak berlepas diri dari keduanya (‘Utsman
dan ‘Ali), kami tidak menangguhkan dan menyerahkan persoalan keduanya kepada
Allah. Biarlah Allah yang menghakimi keduanya.”
Ketika
pertentangan pendapat semakin memuncak di kalangan umat Islam, dan masalah yna
dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukum atas kasus diatas, tetapi
termasuk pula masalah pelaku dosa, muncullah satu kelompok yang menempuh pola
sikap menangguhkan persoalan (al-irja’)
terhadap pelaku dosa; suatu sikap yang ditempuh sebagai kelompok sahabat.
Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya dan diserahkan
kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Mereka menahan diri
dari memperbincangankan pertentangan politik karena dasar pertentangannya
adalah hukum kafir yang dijatuhkan golongan khawarij terhadap semua orang yang
berbeda pendapat dengan mereka . tentang mereka yang saling bertikai itu
kelompok Murji’ah berkata, “ mereka nyatakan dua kalmah syahadat, maka jika
demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musrik, tetapi muslim. Kita
serahkan persoalan mereka kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan
yang akan mengadili mereka.”
Pola
sikap “ tidak mengkaji perbedaan pendapat” dan menyerahkan persoalan pembuat
dosa besar kepada Allah dihari kiamat merupakan cara terbaik, dan itu tidak
diragukan lagi, karena mungkin saja dosa orang itu ada yng diampuni. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi muncul penganut paham yang
tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, teteapi lebih dari itu
mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman
adalah pengakuan, pembenaran, keyakinan dan pengetahuan (ma’rifah); perbuatan masiat tidak akan merusakkan hakikat iman.
Iman terpisah dari perbuatan. Di anatar kelompok ini malah ada yang bersikap
ekstrim denan berangapan bahwa keimanan adalah keyakinan hati. Dengan demikian,
jika seseorang menyatakan kekafiran dengan lidahnya menyembah berhala,
bergabung dengan oran-orang Yahudi dan Nasrani di wilayah Islam, menyembah
salib, menyatakan trinitas di wilayah Islam, lalu mati dalam keadaan seperti
itu, ia tetap seorang mukmin yang imannya sempurna di sisi Allah serta termasuk
ahli surga.
Di
antara mereka malah ada yang berkeyakinan bahwa walaupun seseorang berkata, “
saya tahu bahwa Allah mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah
babi yang diharamkan itu adalah kambing ini atau yang lain,” ia masih tetap
Mu’min. demikian jika ada yang berkata, “ saya tahu bahwa Allah telah
mewajibkan mengerjakan haji ke Ka’bah, tetapi aku tidak tahu dimana Ka’bah itu,
mungkin saja di India, “ ia masih beriman. Artinya keyakinan-keyakinan seperti
itu berada di luar persoalan keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi,
orang tersebut sesungguhnya tidak meragukan di mana Ka’bah dan pasti tahu
perbedaan antara kambing dan babi.
Dari
uraian di atas diketaui bahwa mereka telah melampaui batas dalam melecehkan
amal perbuatan, bahkan menjadikan dosa, ditinjau dari hubungannya dengan dasar
keimanan dari segi efek yang timbul, yaitu balasan surga bagi yang berbuat baik
dan balasan neraka bagi yang berbuat jahat. Mereka juga melecehkan dasar iman
dan mengubah hakikatnya, serta menjadikan iman sebatas pengakuan hati saja,
walaupun bertentangan denan tindakan. Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa
keimanan dan pengakuan belum memasuki hati mereka. Sebaliknya, mereka telah
melampauinya dengan mengatakan bahwa pengakuan hati adalah satu-satunya rukun
iman. Serta meragukan hakikat keimanan yang dapat diketahui secara a
priori dengan menolak mengakuinya
sebagai unsur-unsur keimanan. Mereka menyiarkan bahwa tidak mengetahui Ka’bah
tidak merusak Iman, dan tidak mengetahui babi juga demikian. Yang terakhir ini
barangkali bukan saja benar-benar merusak iman, tetapi juga merusak akal.
Di
tengah-tengah pendapat dan pandangan yang sesat itu diantara para penganut
mazhab Murji’ah ini terhadap orang – orang yang melecehkan hakikat keimanan,
amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan mulia lainnya. Mereka yang
berbuat kerusakan dan tidak mempedulikan halal dan haram menjadikannya sebagai
suatu mazhab, sehina mereka disebut denan al-mufsidin (para pencipta kerusakan). Mereka menjadikan
paham itu sebagai jalan untuk melakukan dosa, melancarkan niat jahat, dan
menuruti hawa nafsu dari kebanyakan orang-orang yang menciptakan malapetaka dan
kerusakan.
Di
antara riwayat yang menceritakan hal itu adalah yang dikisahkan Abu al –farraj
di dalam kitab al-Aghani bahwa seorang penganut Syi’ah dan seorang
penganut Murji’ah berdebat serta sepakat bahwa yang akan menjadi penengah
adalah orang-orang yang pertama mereka jumpai. Mereka lalu bertemu denan seoran
penanut paham yang menghalalkan segalanya (al-Ibahiyyin).
Keduanya bertanya kepada oran itu,” mana yang terbaik Syi’ah atau Murji’ah?”
orang itu menjawab, “ Bagian atas badan saya menganut paham Syi’ah dan bagian
bawah saya Murji’ah.”
Dari
uraian tentang Murji’ah diatas dapat disimpulakn bahwa Murji’ah merupakan
mazhab dari dua golongan. Yang pertama adalah bersikap pasif dalam menetapkan
hukum atas pertentangan yan terjadi diantara para sahabat dan yang terjadi di
masia pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang
bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni semua
dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan maksiat tidak dapat merusak keimanan,
sebagaimana perbuatan taat tidak membantu kekafiran. Mengenai kelompok ini Zaid
ibn ‘Ali ibn al-Hasan berkata, “ Saya berlepas diri dari golongan Murji’ah yang
mengharapkan Allah mengampuni orang-orang fasiq. “ kelompok kedua ini telah
membuat mazhab Murji’ah menjadi cacat yang dicela dan dikutuk para ulama dan
olongan-golongan lain.
Golongan Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka memeberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti
itu, yanitu selama mereka berpendapat
bahwa pendosa tadi tidak kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa
pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudia Allah
memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golonan
Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imam mazhab dalam bidang fiqh
dan hadits. Dengan tolok ukur pandang ini Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya:
Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lain mereka menamakan Murji’ah. Mengenai masalah ini Syahrastani berkata, “ Demi usiaku,
sungguh Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya telah dinamai dengan Murji’ah. Sebabnya barangkali karena Abu Hanifah pernah
berkata, “ Iman adalah pembenaran dengan hati. Iman itu tidak bertambah dan
tidak berkuran.” Mereka beranggapan bahwa sang Imam menomorduakan amal.
Bagimana mungkin tokoh ini berfatwa untuk meninggalkan amal, padahal ia sangan
mementingkan amal perbuatan. Sebab yang lain barangkali karena ia berbeda paham
dengan Qadariyyah dan Mu’tazilah yang muncul pada fase awal, sementara
Mu’tazilah menamakan sqemua orang yang tidaqk sepaqham dengan merekaq dalam
masalah al-adr dengan Murjiah;
demikian pula halnya dengan golongan khawarij.
Jadi, nama itu pasti berasal dari
golongan Mu’tazilah dan Khawarij.”
Dengan tolok ukur pandang seperti itu,
yan termasuk Murji’ah bukan sekedar Abu Hanifah dan murid-muridnya, melainkan
juga sejumlah besar tokoh lainnya, seperti al-Hasan ibn Muhammad ibn’Ali ibn
Abi Thalib, Sa’id ibn Jubair, “Am rib Murrah ibn Tsa’r, Muqatil ibn Sulaiman,
Himad ibn Abi Sulaiman ( Guru Abu Hanifah) dan Qadid ibn Ja’far. Mereka adalah
para imam dalam bidang hadits yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar,
tidak pula menyatakan bahwa mereka akan kekal di neraka.
Para ulama membagi penganut Murji’ah ke
dalam dua golongan pertama adalah Murji’ah
al-sunnah, yaitu yan berpendapat
bahwa pendosa akan disiksa sesuai denan ukuran dosanya, dan tidak kekal
dineraka. Bias saja Allah memaafkan dan menaunginya dengan rahmat-Nya sehinga tidak di siksa sama
sekali, dan itu merupakan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun
yang dikehendaki-Nya (Allah memiliki karunia yang maha besar). Termasuk dalam
kelompok ini kebanyakan ulama fiqh dan hadits. Kelompok kedua adalah Murji’ah al-bi’ah, yaitu mereka secara khusus memakai nama
Murji’ah dikalngan mayoritas umat Islam. Mereka inilah yang berhak menerima
ungkapan dan penilaian buruk dari semua pihak.
Penulis berpendapat bahwa sebaiknya
pemberian sifat Murji’ah dijauhkan dari tokoh ulama sehingga tidak
disamakan dengan mereka yang membolehkan segala-galanya itu. Wa Allah A’lain bi al-shawab.
No comments:
Post a Comment